Network
RUBLIK DEPOK - Sejak tahun 2002, istilah "Googling" telah menjadi kata kerja yang umum digunakan untuk merujuk pada aktivitas mencari informasi di Google. Namun, popularitas istilah ini mulai memudar, terutama di kalangan generasi Z yang lebih memilih TikTok dan ChatGPT sebagai sumber informasi.
Istilah "Googling" sendiri diciptakan oleh Larry Page, salah satu pendiri Google, dua bulan sebelum pendirian resmi perusahaan pada September 1998. Dalam sebuah email kepada teman-temannya, Page menambahkan kalimat "have fun and keep googling!" yang menandai awal mula penggunaan istilah ini.
Pada Juni 2006, "Googling" resmi dicantumkan dalam Oxford English Dictionary dan menjadi sinonim untuk istilah pencarian di mesin pencari.
Namun, berdasarkan penelitian Bernstein Research, generasi Z semakin jarang menggunakan "Googling" sebagai kata kerja. Analis Bernstein, Mark Shmulik, mencatat bahwa generasi muda kini lebih cenderung menggunakan istilah "searching".
Hal ini menandakan perubahan signifikan dalam interaksi mereka dengan dunia maya. "Audiens yang lebih muda lebih memilih istilah ‘searching’ ketimbang 'Googling'," kata Shmulik dalam laporan yang diterbitkan baru-baru ini.
Peralihan ke Media Sosial dan AI
Generasi Z saat ini lebih sering mengakses platform media sosial, seperti TikTok, untuk mendapatkan rekomendasi terkait restoran, atau langsung ke situs e-commerce seperti Amazon untuk kebutuhan sehari-hari.
Mereka juga memanfaatkan teknologi AI generatif seperti ChatGPT untuk menyelesaikan tugas sekolah. Menurut survei yang dilakukan oleh Forbes Advisor dan Talker Research terhadap 2.000 orang di Amerika pada April 2024, sebanyak 45% generasi Z lebih memilih istilah 'social searching' ketika mencari informasi di platform seperti TikTok dan Instagram, dibandingkan menggunakan Google. Sementara itu, 35% milenial, 20% Gen X, dan kurang dari 10% Boomer juga melakukan hal yang sama.
Seiring bertambahnya usia, generasi Z semakin mengandalkan media sosial untuk mencari informasi. Shmulik menyatakan bahwa generasi ini tumbuh di tengah perkembangan internet yang sudah matang, sehingga mereka cenderung langsung mengakses sumber informasi. Dalam sebuah penelitian, sekitar 40% generasi Z mengaku menggunakan media sosial sebagai mesin pencari utama untuk merek, produk, dan layanan pada tahun 2016, dan angka itu meningkat menjadi hampir 52% pada tahun 2023.
Tantangan Google di Era Baru
Dengan semakin populernya media sosial, Google dihadapkan pada tantangan yang serius. Prabhakar Raghavan, Wakil Presiden Senior Google, mengungkapkan bahwa sekitar 40% anak muda tidak lagi merujuk pada Google Maps atau Search saat mencari tempat makan siang, melainkan beralih ke TikTok atau Instagram.
Di tengah perubahan ini, Google harus menghadapi tuntutan antimonopoli yang mengklaim bahwa perusahaan ini telah memonopoli pasar pencarian. Alphabet, induk perusahaan Google, dilaporkan telah membayar sebesar US$ 26 miliar untuk menjadi mesin pencari default di perangkat mobile dan browser, sehingga menghalangi mesin pencari lain untuk bersaing.
Menanggapi kebutuhan generasi muda, Google berupaya beradaptasi. Raghavan menyatakan bahwa pendekatan baru akan melibatkan pencarian berbasis visual.
Google saat ini tengah berinvestasi dalam teknologi terbaru, termasuk kacamata augmented reality (AR) yang dilengkapi dengan fitur pencarian multi-modal, memungkinkan pengguna untuk mencari informasi menggunakan teks dan gambar.
Selain itu, mereka juga sedang menguji fitur Ask Photos yang memanfaatkan model AI Gemini untuk menjawab pertanyaan menggunakan foto, seperti lokasi restoran yang baru saja dikunjungi. "Kami harus menciptakan harapan yang sama sekali baru dan itu memerlukan dasar teknologi yang inovatif," tutup Raghavan.
Dengan demikian, perubahan cara generasi muda dalam mencari informasi menunjukkan pergeseran besar dalam penggunaan teknologi dan platform yang tersedia.
