Pelarangan Jilbab, Tajikistan di Bawah Kepemimpinan Rahmon Dinilai Anti Islam

- 27 Juni 2024, 07:46 WIB
Presiden Tajikistan Emomali Rahmon
Presiden Tajikistan Emomali Rahmon /Sumber: Reuters/

RUBLIK DEPOK - Tajikistan, di bawah kepemimpinan Presiden Emomali Rahmon, kembali menjadi sorotan setelah memberlakukan larangan penggunaan hijab pada pekan lalu.

Langkah ini menuai kontroversi mengingat 96 persen penduduk negara itu merupakan umat Muslim, berdasarkan sensus penduduk tahun 2020. Larangan hijab ini merupakan kebijakan anti-Islam terbaru yang diterapkan Tajikistan.

Selain larangan hijab, sejumlah aturan anti-Islam lainnya telah diterapkan di negara Asia Tengah pecahan Uni Soviet ini, seperti melarang laki-laki menumbuhkan janggut, menggusur ribuan masjid, dan melarang penggunaan nama berbau Arab dan Islam.

Larangan pembentukan partai politik Islam, penggunaan pengeras suara masjid untuk mengumandangkan adzan, dan penggunaan bahasa Arab di sekolah-sekolah juga berlaku di Tajikistan.

Kalender nasional Tajikistan bahkan tidak memberikan warna merah pada dua hari besar Islam: Idulfitri dan Idul Adha. Meskipun demikian, pemerintah tetap mengumumkan kedua tanggal tersebut sebagai Hari Libur Nasional.

Kebijakan anti-Islam yang diterapkan di Tajikistan tak dapat dilepaskan dari pengaruh Presiden Emomali Rahmon, yang telah berkuasa sejak tahun 1994. Rahmon berupaya menjadikan Tajikistan negara sekuler dengan mempromosikan nilai-nilai sekuler dan mencegah praktik keagamaan dan keyakinan yang dianggap asing dari kehidupan politik dan sosial negara tersebut.

Rahmon dapat dikatakan sebagai sosok yang secara tidak sengaja menjadi Presiden seumur hidup Tajikistan karena dukungan keadaan. Pada tahun 1991, Tajikistan merdeka dari Uni Soviet, dan tokoh komunis Rahmon Nabiyev menjadi presiden pertama Tajikistan setelah memenangkan pemilu langsung pertama dengan 57 persen suara.

Namun, kondisi Tajikistan jauh dari stabil, yang memicu pemberontakan dan demonstrasi di berbagai wilayah. Pada tahun 1992, demonstrasi anti-pemerintah di ibu kota Dushanbe berubah menjadi perang sipil antara pasukan pemerintah, kelompok Islam, dan kelompok pro-demokrasi. Perang sipil ini menewaskan 20.000 orang dan semakin memperburuk kondisi ekonomi Tajikistan yang baru merdeka.

Dikutip dari Radio Free Europe, kondisi ini memaksa Nabiyev untuk mundur pada September 1992. Jabatan presiden ditiadakan, sehingga ketua parlemen Tajikistan, yang saat itu dijabat oleh Rahmon, secara otomatis menjadi kepala negara de facto.

Halaman:

Editor: Iswahyudi


Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah